Kamis, 06 Januari 2011

Makalah 'Ulumul Hadits


BAB I
PENDAHULUAN

            Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang ke dua, memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Quran yang masih bersifat umum dan lain sebagainya. Berbicara masalah sunnah, para ulama berbeda pendapat dalam hal pengertiannya, ini disebabkan karena perbedaan latar belakang, persepsi dan sudut pandang masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW. Secara  garis besarnya  mereka terkelompok menjadi tiga golongan yaitu ulama usul, ulama fiqh, dan ulama hadis.
            Ulama usul misalnya memandang Rasulullah sebagai pembawa dan pengatur undang-undang yang menerangkan kepada manusia tentang undang-undang hidup dan menciptakan kerangka dasar bagi mujtahid yang hidup sesudahnya. Ulama fiqh memandang pribadi dan perilaku Rasulullah yang melandasi hukum syara’ untuk diterapkan oleh manusia dalam kehidupannya. Sedangkan ulama hadis mengartikan sunnah sama dengan hadis.
            M.Hasbi  Ash Shiddieqy, dalam bukunya “Problematika Hadits dalam Pembinaan Hukum Islam” menyebutkan bahwa Sunnah bukan Hadits, dan bahwa Hadits bukan Sunnah, dan kedua-duanya harus ditaati. Dalam hal ini beliau membedakan antara sunnah dengan hadis.
            Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik membahas masalah Sunnah Sebagai Sumber Hukum, dengan pembahasan sebagai berikut:
1.      Pengertian Sunnah
2.      Klasifikasi Sunnah
3.      Dalil Kehujjahan Sunnah
4.      Kedudukan Sunnah
5.      Fungsi Sunnah
a.       Dalam Ajaran Islam
b.      Terhadap al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN SUNNAH
Pengertian Sunnah menurut lughat (bahasa):
M.‘Ajaj Al-Khatib, menyebutkan, as-Sunnah berarti perjalanan yang baik maupun yang  buruk.
            Sunnah pada lughat menurut Asy-Syaukany dalam Irsyaadul-Fuhul, adalah:
اطريقة ولوغيرمرضية
Jangan yang  tetap kita jalani, (telah menjadi tradisi untuk kita jalani), baik diridai, maupun tidak.[1]
Seperti sabda Rasul SAW. berikut ini:
من سن في الاسلام سنة حسنة فله اجرهاواجرمن عمل بهابعده من غيران ينقص من اجورهم شئ ومن
سن في الاسلام سنة كا ن عليه وزرها ووزرمن عمل بها من بعده من غيران ينقص من اوزارهم شئ
Barang siapa merintis dalam Islam suatu jalan yang baik, maka ia memperoleh pahala jalan baik itu dan pahala orang yang melakukannya sesudah dirinya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam suatu jalan yang buruk, maka ia akan menerima dosa  jalan buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dirinya, tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka (H.R.Muslim)[2]
Dan sabda Nabi SAW.,                                                        
لتتبعن سنن من قبلكم شبرا بشبر وذ راعا بذ راع حتى لوسلكموا حجرضب لسلكتموه                     

Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan) orang yang sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki sarang dhab (serupa biawak) sungguh kamu masuki juga. (H.R.Bukhari dan Muslim)
            Orang yang mengawali suatu perbuatan yang kemudian diperbuat oleh orang-orang sesudahnya, maka ia disebut orang yang merintisnya.[3]
            Menurut hadits ditas pengertian sunnah adalah “jalan” sebagai mana yang dikehendaki oleh ilmu bahasa sendiri.[4]
Pengertian As-Sunnah secara syara’:
            Dalam pengertian syara’, kata as-Sunnah dimaksudkan sebagai segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang atau dianjurkan oleh Nabi SAW. baik berbentuk sabda maupun perbuatan. Oleh karena itu dikatakan bahwa dalil-dalil syara’ adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah, yakni Al-Qur’an dan al-Hadits.
            Akan tetapi pengertian as-Sunnah menjadi beragam dikalangan para pengkaji syari’at, sesuai dengan spesialisasi dan tujuan masing-masing. Menurut ulama’ ushul, ia berbeda dengan yang dimaksud oleh ulama’ hadits dan fiqh. Perbedaan tersebut akan lebih jelas dengan  menelusuri kajian-kajian yang mereka lakukan berkenaan dengan as-Sunnah sebagai berikut:
a.       Ulama’ hadits membahas segala sesuatu dari Rasulullah SAW. dalam kapasitas beliau sebagai Imam yang memberi petunjuk dan penuntun yang memberikan nasihat, yang diberitakan oleh Allah SWT. Sebagai teladan dan figur bagi kita. Sehingga mereka mengambil segala sesuatu yang berkenaan dengan Nabi SAW, baik berupa tingkah laku, postur tubuh, pembawaan, informasi, sabda dan perbuatan beliau, baik membawa konsekwensi hukum syara’ ataupun tidak.
b.      Ulama’ ushul membahas segala sesuatu dari Rasul SAW. dalam kapasitas beliau sebagai pembentuk syari’at yang menjelaskan kepada manusia undang-undang kehidupan dan meletakkan ka’idah-ka’idah bagi para mujtahid sepeninggal beliau. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian serius mereka adalah sabda, perbuatan dan taqrir beliau yang membawa konsekwensi hukum dan menetapkannya.
c.       Sedang ulama’ fiqh membahas segala sesuatu dari Nabi SAW. yang perbuatan-perbuatan beliau menunjukkan ketentuan syara’. Mereka mengkaji hukum syara’ berkenaan dengan perbuatan manusia, baik dari segi wajib, haram, mubah atau yang lain.[5]
             Sedangkan  M.Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan sebagai berikut ini:
             Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli hadits), ialah:”segala yang dinukilkan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.”
             Sunnah menurut pendapat (istilah) ahli ushul fiqh, ialah:”segala yang dinukilkan dari Nabi SAW baik perkataan maupun perbuatan, ataupun taqrir yang mempunyai hubungan dengan hukum”.
             Sunnah dalam terminologi ulama’ fiqh adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW. yang tidak termasuk bab fardhu dan wajib.
             Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa cakupan pengertian sunnah yang paling luas adalah yang dikemukakan oleh ulama’ hadits, yaitu segala sesuatu yang diambil dari Rasul SAW. baik berupa sabda, perbuatan, taqrir atau sepak terjang beliau, sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul, baik membawa konsekuensi hukum syara’ ataupun tidak.
             Sunnah pada dasarnya sama dengan hadis, namun dapat dibedakan dalam pemaknaanya, seperti yang diungkap oleh M,M.Azami bahwa sunnah berarti model kehidupan Nabi SAW, sedangkan hadis adalah periwayatan dari model kehidupan Nabi SAW tersebut.[6]



B.     KLASIFIKASI SUNNAH
              M.Hasbi Ash-Shiddieqy membagi sunnah kepada dua macam yaitu: sunnah fi’liyah (pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW.), dan sunnah tarkiyah ( pekerjaan-pekerjaan ibadat yang tidak dikerjakan Rasul SAW).
Ulama Ushul tentang sunnah fi’liyah menetapkan bahwa:[7]
a.       Pekerjan-pekerjaan yang masuk urusan tabi’at seperti: duduk, berdiri, makan, minum, dan lain sebagainya, jika Nabi mengerjakannaya, maka menunjukkan kepada kebolehan pekerjaan itu untuk Nabi dan umatnya.
b.      Pekerjan-pekerjaan yang nyata tertentu untuk Nabi, seperti: punya istri lebih dari empat, masuk ke Makkah dengan tidak ihram, maka perbuatan tersebut tidak dapat sekutuinya; tidak dapat kita meneladaninya. Perbuatan perbuatan itu khusus untuk Nabi.
c.       Pekerjan-pekerjaan yang Nabi kerjakan untuk menjadi penerangan bagi kita dalam melaksanakan sesuatu perintah Allah, seperti: shalat zuhur empat raka’at, magrib tiga raka’at, subuh dua rak’at, beliau memotong tangan pencuri hingga pergelangan tangan saja. Maka sudah ditetapkan bahwa perbuatan seperti ini dihukum dengan hukum asalnya, yakni diserupakan hukumnya dengan hukum perintah yang diperintahkan. Kalau hukum yang diperintahkan itu wajib, maka pekerjaan yang menerangkan cara melaksanakan perintah yang wjib itu, wajib juga.
d.      Pekerjan-pekerjaan yang bukan dari tabi’at, bukan pula tertentu untuk Nabi, (tak ada keterangan yang tegas yang menentukan pekerjaan itu untuk Nabi), maka jika nyata padanya dasar ta’at (yakni dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dikerjakan sebagai suatu ibadat), seperti: Nabi mencukur rambut di Hudaibiyah, maka ada ulama yang mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan serupa itu, wajib hukumnya, ada yang mengatakan nadb hukumnya, ada yang mengatakan boleh hukumnya, ada juga yang mengatakan: tidak ada hukum; tak dapat ditetapkan sesuatu hukum sebelum ada perintah yang tegas.
e.       Pekerjan-pekerjaan yang tidak nyata berdasarkan ibadat, maka ulama ushul berbeda pendapat:
§   Al Amidy mengatakan boleh jadi wajib, boleh jadi sunat boleh jadi mubah.
§   Ibnu Haajib mengatakan: boleh
§   Asy Syaukani mengatakan: sunat.
Menurut pentahkikan, perbuatan seperti ini menegaskan kebolehannya saja; tidak haram kita lakukan. Tetapi jika yang mengerjakannya mendasarkan pekerjaannya kepada ibadat tentulah diberi pahala.
Seumpama memakai jubah, suatu perbuatan yang dilakukan Rasul dan kita tidak pernah disuruh memakainya,  menurut faham Al Amidy adalah tidak dilarang, menurut faham Ibnu Haajib mubah dan menurut faham Asy Syaukany sunat.
          Sunnah Tarkiyah, yaitu apabila Nabi meninggalkan sesuatu, maka meninggalkan sesuatu itu, itulah yang dikatakan sunnah. Hal ini sama dengan kita mengerjakan sesuatu yang dikerjakan Nabi dalam rangka mendekaatkan diri kepada Allah. Jadi dengan meninggalkan sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Nabi juga dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Seperti Nabi meninggalkan azan pada shalat ‘Id (Hari Raya), dan membaca Al-Qur’an untuk si mayat.
Pekerjaan ini ditinggalkan oleh Rasul sepanjang masanya, pada hal tak ada halangan untuk beliau kerjakan, bahkan terdapat pula sebab-sebab yang menghendaki perbuatan itu dipandang ibadah.
          Berdasarkan pengertian As-Sunnah menurut ulama seperti yang telah disebutkan diatas, maka As-Sunnah diklasifikasikan kepada:Pertama Sunnah Qauliyyah yaitu berupa perkataan Nabi SAW, kedua Sunnah Fi’liyyah yaitu seluruh perbuatan Nabi SAW, ketiga  Sunnah Taqririyyah yaitu segala sesuatu yang muncul dari sementarasahabat yang diakui keberadaannya oleh Nabi SAW, baik berupa ucapan maupun perbuatan dengan cara diam tanpa pengikaran atau persetujuan dan keterusterangan beliau menganggapnya baik  bahkan menguatkannya.
C.     DALIL KEHUJJAHAN SUNNAH
              Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sunnah merupakan satu diantara sumber syari’at, yang darinya hukum-hukum syari’at dan adab-adabnya digali dalam Islam. Jumlahnya ada empat yaitu:[8]
a.      Iman. Salah satu konsekuensi beriman kepada risalah, adalah menerima segala sesuatu yang datang dari Rasul SAW. dalam urusan agama. Allah telah memilih para rasul diantara  para hamba agar menyampaikan syari’at-Nya kepada umat
Allah SWT berfirman :


Artinya : “…Maka tidak ada kewajiban atas para Rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang (Qs.An-Hahl,16:35)[9]
        Selanjutnya Allah memerintahkan supaya beriman kepada Rasul-Nya, yang disejajarkan dengan perintah wajib beriman kepada-Nya.
Allah berfirman :
 



Artinya : “… Maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada Kalimat-kalimat-Nya (Kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”.(QS.Al-‘Araf,7:158)

b.      Al-Qur’an. Banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan kewajiban taat kepada Rasul SAW antara lain, Firman Allah :
 


Terjemahan :
              “Dan ta’atlah kamu kepada Allah dan ta’atlah kamu kepada Rasul-(Nya)dan berhati-hatilah.(QS.Al-Maidah,5:92)[10]

c.       Hadits Nabi SAW :
تركت فيكم امرين لن تضلوا ما ان تمسكتم بهما كتاب الله وسنتى
Artinya : Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahk (HR.Imam Malik)
d.      Ijma’. Umat Islam telah mengambil kesepakatan bersama untuk mengamalkan Sunnah. Bahkan hal ini mereka anggap sejalan dengan memenuhi penggilan Allah SWT dan Rasul-Nya yang terpercaya. Kaum muslimin menerima sunnah seperti mereka menerima Al-Qur’an, karena berdasarkan dari kesaksian dari Allah Azza Wa Jalla, sunnah merupakan salah satu sumber syari’at.

D.    KEDUDUKAN SUNNAH
              Untuk mengetahui kedudukan sunnah Rasulullah saw. dalam syari’at Islam, kita perlu melihat dasar-dasarnya dalam al-Qur’an yang menjelaskan kedudukan Rasulullah saw. Di dalam al-Qur’an kita bisa melihat bahwa Rasulullah mempunyai tugas dan peran sebagai berikut:
1. Menjelaskan Kitabullah
Allah berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ  
Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan. (an-Nahl: 44).[11]
2. Rasulullah SAW. merupakan Uswatun Hasanah yang wajib dicontoh oleh setiap Muslim. Sebagai mana Firman Allah SWT:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan Hari Kiamat dan ia banyak menyebut Allah (al-Ahzab: 21)[12]
3. Rasulullah wajib ditaati
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Artinya: Wahai orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. (al-Anfal: 20)
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
Artinya: Barangsiapa taat kepada Rasulullah maka berarti ia taat kepada Allah. (an-Nisa’: 80)
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Artinya: Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (an-Nisa’: 69)
4. Rasulullah Saw mempunyai wewenang (kekuasaan) untuk membuat suatu aturan.
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آَمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Artinya: Orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, yang namanya mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, tidak ada Tuhan selain Dia. Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya), dan ikutilah dia supaya kamu mendapatkan petunjuk.” (al-A’rof: 157-158)[13]
            Dari keterangan ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa taat kepada Rasulullah saw adalah suatu kewajiban, sebab taat kepada Allah juga disyaratkan taat kepada Rasulullah. Dan setelah Rasulullah wafat kataatan itu diwujudkan dalam menerima dan mengikuti sunnah-sunnahnya. Oleh karena itu umat Islam sejak periode-periode pertama secara praktis telah sepakat untuk menerima dan memakai Sunnah-sunnah Rasulullah saw.
E.     FUNGSI SUNNAH
a.       Dalam Ajaran Islam
              Sebagai mana telah dijelaskan diatas bahwa Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber syari’at yang saling terkait. Seorang muslim tidak mungkin dapat memahami syari’at kecuali dengan merujuk kepada keduanya sekaligus.
              Allah SWT memerintahkan ta’at kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, untuk menunjukkan bahwa ta’at kepada Rasul wajib secara mandiri tanpa harus dipaparkan dengan perintah ta’at kepada Al-Qur’an. Bahkan bila Rasul SAW memerintahkan sesuatu, maka harus dita’ati secara mutlak, baik perintahnya itu ada dalam Al-Qur’an maupun tidak.
              Dengan demikian sunnah dipandang dari segi keberadaannya wajib diamalkan dan sumbernya dari wahyu sederajat dengan Al-Qur’an. Ia berada pada posisi kedua dilihat dari kekuatannya. Karena Al-Qur’an berkualitas “qat’iy”, baik secara global maupun terinci. Sedangkan sunnah berkualitas “qat’iy” secara global saja, tidak secara rinci. Disamping itu Al-Qur’an merupakan pokok, sedangkan sunnah merupakan cabang, karena posisinya menjelaskan dan menguraikan. Dan tidak diragukan lagi bahwa pokok lebih didahulukan dan uraian diakhirkan.
b.    Terhadap Al-Quran
              Sunnah berfungsi menopang al-Qur’an dalam menjelaskan syari’at Islam. Bentuk penopang tersebut dapat dirumuskan ke dalam tiga hal yaitu: Pertama, Sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham, merinci ayat yang mujmal, mentakhsis ayat yang umum. Diantara contoh-contoh sunnah yang berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an adalah seperti pejelasan tentang shalat, zakat, dan lain-lainnya. Misalnya, Imam Syafi’i menganggap bahwa hadits di bawah ini
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا وَلاَ عَلَى اِبْنَةِ أُخْتِهَا وَلاَ اِبْنَةِ اَخِيْهَا  
Artinya: Tidak boleh dinikahi seorang perempuan bersama dengan bibi dari jurusan bapak, bibi dari jurusan ibu, kemenakannya (anak dari saudara perempuannya), dan kemenakannya (anak dari saudara laki-laki). (HR. Imam Ahmad)
Hadits ini menurut Imam Syafi’i, mentakhsis firman Allah:
وَاُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذلِكُمْ
Artinya: Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (QS. an-Nisa’: 24)[14]
              Nampaknya Imam-imam yang lain sependapat dengan asy-Syafi’i dalam kaitannya dengan hadits tadi, meski masih diperselisihkan tentang kekuatannya, apakah tergolong hadits ahad atau hadits masyhur. Kedua, sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan pokoknya telah ditetapkan nash al-Qur’an. Misalnya, Sunnah datang dengan membawa hukum-hukum tambahan yang menyempurnakan ketentuan-ketentuan pokok tersebut. Di antara contoh hadits semacam ini adalah masalah li’an. Al-Qur’an telah menerangkan dengan jelas dan sempurna masalah ini, kemudian sunnah memberikan ketetapan untuk memisahkan suami-isteri itu dengan jalan perceraian. Perceraian ini mengandung hikmah, karena tsiqoh (kepercayaan) yang menjadi dasar kehidupan berumah tangga telah hilang dari suami-isteri itu. Ketiga, Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam al-Qur’an, tidak pula merupakan tambahan terhadap nash al-Qur’an. Di antara contoh sunnah semacam ini adalah pelarangan memakan keledai kampung (al-humur al-ahliyah), daging binatang buas, dan  beberapa ketentuan tentang diyat.    
              Dari keterangan tersebut di atas jelaslah bahwa memakai al-Qur’an saja dan meninggalkan Sunnah adalah sesuatu yang tidak mungkin dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu, Imam Syafi’i mengatakan bahwa setiap orang yang menerima hukum-hukum yang diwajibkan oleh Allah maka berarti ia menerima Sunnah Rasul-Nya serta menerima hukumnya. Begitu pula orang yang menerima sunnah Rasul, ia berarti menerima perintah-perintah Allah. Keduanya merupakan satu kesatuan dalam kaitannya dengan kepentingan istidlal dan dipandang sebagai sumber pokok (ashl) yang satu, yakni nash.  
            Dalam konteks ini Imam asy-Syatibi berkata: “Di dalam melakukan istinbath hukum, tidak seyogyanya hanya membatasi dengan memakai dalil al-Qur’an saja, tanpa memperhatikan penjabaran (syarah) dan penjelasannya (bayan), yaitu sunnah. Sebab di dalam al-Qur’an terdapat banyak hal yang masih global seperti keterangan tentang sholat, zakat, haji, puasa dan lain-lainnya, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus menengok keterangan dari sunnah.”[15]

KESIMPULAN
            Meskipun istilah Hadits dan Sunnah telah umum di kalangan umat Islam bukan berarti keduanya sudah dipahami dengan baik. Justru terdapat beberapa perbedaan pendapat dalam mendefinisikan Hadits dan Sunnah. Hal itu Karena disebabkan oleh perbedaan sudut pandang dari para ulama. Antara ulama ahli Fiqh dan ulama ahli Hadits mempunyai definisi tersendiri yang berimplikasi pada penyikapan terhadap keduanya. Belum lagi perbedaan antara Hadits dan Sunnah yang juga terdapat perbedaan di kalangan ulama. Sebagian ada yang menyamakan antara keduanya dan sebagian yang lain membedakan keduanya dengan menyertai dalil masing-masing.
            Adapun kedudukan Sunnah dan Hadits dalam syari’at Islam tidaklah banyak perbedaan pendapat. Jumhur ulama sepakat bahwa Sunnah-Hadits merupakan sumber kedua dalam hukum Islam setelah al-Qur’an. Hal itu sudah diakui oleh kalangan ulama Fiqh dan ulama Hadits, kecuali segelintir kelompok yang membantahnya, yaitu kelompok inkar-sunnah. Berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an maupun Hadits sendiri, tidaklah benar hanya berpegang pada al-Qur’an tanpa mempertimbangkan Sunnah-sunnah Rasulullah saw.










DAFTAR PUSTAKA    
              Al-Qaradhawi, Yusuf. 1997. Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan. (terj). (Surabaya: Dunia Ilmu)
              As Shiddieqy, M. Hasbi. 1967. Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah. (Jakarta: Bulan Bintang)
               As Shiddieqy, M. Hasbi. 1991. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Jakarta: Bulan Bintang)
              As-Shalih, Subhi. 1995. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (terj). (Jakarta: Pustaka Firdaus)
               Ham, Mashadi. 2000. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Hukum Islam. (Semarang: Aneka Ilmu)
              Ismail, M. Syuhudi. 1988. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. (Jakarta: Bulan Bintang)
            Zuhri, Muh. 2003. Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologi. (Yogyakarta: Tiara Wacana)
                                  
               
               
































Top of Form
Bottom of Form


[1] T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah,(Jakarta Bulan Bintang: 1974
[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, hal. 705, juz II.( T,tp,tt)
[3] M.’Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2007
[4] M.Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan bintang), 1991
[5] M.’Ajaj Al-Khatib, opcit,h2
[6]M.M.Azami,Studies in Hadis Methodology and Literature. Trj.Meth Kieraha.Jakarta: Lentera. 2003. H. 21-23
[7] M.Hasbi Ash Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah, (Jakarta: Bulan bintang), 1974

[8] M.’Ajaj Al-Khatib, opcit,h23
[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,( Semarang:  CV.Asy Syifa, 2001)
[10] Ibid 
[11]Ibid
                [12]Ibid 
[13]Ibid 
[14]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar