Jumat, 24 Desember 2010

Ayat-ayat Mutasyabih


AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT

A.       Pendahuluan
       Rosihon Anwar dalam bukunya Ulum Al-Qur’an menyebutkan:
Salah satu persoalan ‘Ulum Al-Qur’an yang masih diperdebatkan sampai sekarang adalah kategorisasi muhkam-mutasyabih. Telaa’ah dan perdebatan seputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan Islam, terutama menyangkut penafsiran  Al-Qur’an.
              Ibnu Habib An-Naisaburi mengemukakan tiga pendapat tentang persoalan ini:
              Pertama Al-Qur’an seluruhnya muhkamat berdasarkan firman Allah QS. Hud ayat 1.
              Kedua Al-Qur’an seluruhnya mutasyabihat berdasarkan firman Allah QS Az-Zumar ayat 23.
              Ketiga, yaitu pendapat yang benar, Al-Qur’an terbagi dua bagian yaitu muhkamat dan mutasyabihat, sebagai mana diisyaratkan oleh firman Allah QS. Ali Imaran ayat 7:
 








Artinya :
Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada (Muhammad). Diantaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab(Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, pada hal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal. (QS.Ali Imran,3 :7)[1]

B.       Pengertian Muhkamat dan Mutasyabihat
Muhkam secara lughawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan Muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih dan membedakan antara yang hak dan yang bathil.[2] Dengan pengertian inilah Allah mensifati Al Qur’an dengan muhkam, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya,
!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»tƒ#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOŠÅ3ym AŽÎ7yz ÇÊÈ  
Artinya :
Alif laam raa. (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci, (yang diturunkan) dari sisi (Allah) yang Mahabijaksana, Mahateliti (QS. Huud 11 : 1)[3]
Sedangkan M.Quraish Shihab menyebutkan: kata uhkimat terambil dari kata ahkama yang akar katanya terdiri dari huruf ha kaf dan mim yang berkisar maknanya pada makna menghalangi, seperti hukum yang berfungsi menghalangi terjadinya penganiayaan.[4]
Mutasyabih secara lughawi berasal dari kata syabaha, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Subhah ialah keadaan di mana satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara kongkrit atau abstrak.[5] Dengan pengertian ini Allah menyebut Al Qur’an sebagai kitaban mutasyabihan matsani, yang tertera dalam Al-Qur’an surat Az-Zumar ayat 23.
 


Artinya: Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya.[6]
              Berbagai pendapat tentang makna kedua istilah tersebut, seperti As Sayuthi dalam karya monumentalny Al Itqan menyebutkan beberapa pendapat tentang muhkam dan mutasyabih yang terfokos pada QS.3:7. Ada yang memberi pengertian bahwa muhkam adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang diketahui maksudnya, penjelasan dan penta’wilannya. Sedangkan mutasyabih adalah  ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya Allah yang mengetahui maknanya, seperti kapan terjadinya hari kiamat. Keluarnya dajjal dan harf muqathatha’ diawal surat. Ada yang memberi pengertian muhkam dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang jelas maknanya, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya. Ada juga yang mendefinisikan muhkam sebagai ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung penta’wilan hanya dari satu segi. Sedangkan mutasyabih mengandung kemunkinan dita’wilkan dari beberapa segi.[7]
              Menurut Ibnu Abbas :Ayat Muhkam yaitu ayat yang hanya mempunyai satu arti menurut aturan bahasa Arab atau lainnya,  arti ayat itu jelas diketahui. Misalnya :
Tidak ada yang serupa dengan-Nya (QS Asyura :11)
Dan tidak sesuatu yang setara dengan Dia (Al-Ikhlas :4)
adapun ayat Mutasyabih yaitu ayat-ayat yang dapat memiliki banyak arti menurut bahasa Arab. Penunjukan makna ayat ini membutuhkan pemikiran yang dalam sehingga dapat diterima. Misalnya Surat Thaha : 5
“(Yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arsy. (QS. 20:5)
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka (ketahuilah) kemuliaan itu semuanya milik Allah. Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik  dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya. Adapun  orang-orang yang merencanakan kejahatan mereka akan mendapat  azab yang sangat
keras, dan rencana jahat mereka akan hancur. (QS.Fathir, 35:10)[8]
Menurut kaidah bahasa Arab, itu adalah ayat mutasyabihat, sehingga memiliki banyak arti. Pemilihan maknanya harus dilakukan sehingga sesuai dengan kaidah bahasa dan agama, dan tidak bertentangan dengan ayat muhkam. Ayat-ayat Al-Quran tidak mungkin saling bertentangan.
              Untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan tentang perbedaan pendapat ulama mengenai penentuan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Bin Alwi Al-Malik Al-Hasni dalam bukunya Zubdah Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an, alih bahasa oleh Rosihan Anwar antara lain :
1.      Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui, baik melalui ta’wil ataupun tidak. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui oleh Allah, seperti tentang terjadinya hari kiamat, keluarga Dajjal, dan potongan-potongan huruf pada awal surat (fawatih as-suwar).
2.      Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang maknanya jelas, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat sebaliknya.
3.      Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang tidak memunculkan kemungkinan sisi arti yang lain, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat mempunyai kemungkinan sisi arti yang banyak.
4.      Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang maknanya dapat dipahami oleh akal, seperti bilangan raka’at shalat, kekhususan bulan ramadhan untuk pelaksanaan puasa wajib, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat sebaliknya. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Mawardi.
5.      Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang dapat berdiri sendiri (dalam pemaknaannya), sedangkan ayat-ayat mutasyabihat bergantung pada ayat lain.
6.      Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang maksudya segera dapat diketahui tanpa penakwilan, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat memerlukan penakwilan agar diketahui maksudnya.
7.      Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang lafazh-lafazhnya tidak berulang-ulang, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat sebaliknya.
8.      Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang berbicara tentang kefarduan, ancaman, dan janji, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat berbicara tentang kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan.
9.      Ibnu Abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thahah, dari, Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang menghapus (nasikh),  berbicara tentang halal haram, ketentuan-ketentuan (hudud), kefarduan, serta yang harus diimani dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat yang dihapus (mansukh), yang berbicara tentang perumpamaan-perumpamaan, sumpah, dan yang harus diimani tetapi tidak harus diamalkan.
10.  Abd bin Hamid mengeluarkan sebuah riwayat dari adh-Dhahhak yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang tidak dihapus   sedangkan ayat-ayat mutasyabihat ayat yang dihapus.
11.  Ibnu Abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Muqatil bin Hayyan bahwa ayat-ayat mutasyabihat adalah seperti alif lam mim, alif lam mim ra, dan alif lam ra.
12.  Ibnu Abi Hatim mengatakan bahwa Ikrimah, Qatadah, dan yang lainnya mengatakan bahwa ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang harus diimani dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat yang harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan.
Dari pendapat-pendapat ulama diatas penulis menyimpulkan bahwa inti dari ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak memerlukan pentakwilan lagi, yang wajib diimani dan diamalkan. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas memerlukan penakwilan untuk mengetahui maknanya. Termasuk kategori  mutasyabihat adalah mujmal (global).





C.       Perbedaan Ulama tentang Muhkamat dan Mutasyabihat beserta Argumen
              Para ulama berbeda pendapat apakah arti ayat-ayat mutasyabihat dapat diketahui oleh manusi atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Pokok persoalan yang menyebabkan berbeda adalah pada cara menjelaskan struktur kalimat dari QS. Ali Imran ayat, 7 berikut:
                  
Apakah ungkapan wa ar-rasikhuna fi’al-ilm di-athaf-kan pada lafazh Allah, sementara lafazh yaquluna sebagai hal. Atau apakah sebagai mubtada,  dan khabar-nya adalah yaquluna.[9]
Terdapat dua pendapat tentang persoalan tersebut. Ada sedikit ulama berpihak pada penjelasan gramatika yang pertama, diantaranya Mujahid yang berasal dari Ibnu abbas. Ibnu Al-Mundzir mengeluarkan sebuah riwayat dari Mujahid, dari Ibn Abbas, mengenai surat Ali Imran (3) ayat 7. Ibn Abbas berkata, “Aku di antara orang yang mengetahui takwilnya.” Imam An-Nawawi juga termasuk dalam kelompok ini. Dalam syarah Muslim, ia berkata, “pendapat inilah yang paling shahih karena tidak mungkin Allah meng-khitab-i hamba-hamba-Nya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.”[10]      Ulama lain yang termasuk kelompok ini adalah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Ishaq Asy-Syirazi (w.476 H.). Asy-Syirazi berkata, “Tidak ada satu ayatpun yang maksudnyahanya diketahui Allah.”           Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak apa bedanya mereka dengan orang awam.
              Sebahagian besar dari sahabat, tabi’in, dan generasi sesudahnya terutama Ahlussunnah berpihak pada penjelasan gramatika kedua. Ini pula yang merupakan riwayat paling sahih dari Ibn Abbas.
              Al-Hafizh As-Suyuti mengatakan bahwa validias pendapat kelompok kedua diperkuat oleh riwayat-riwayat berikut:
1.      Riwayat yang dikeluarkan oleh Abd Ar-Raziq dalam tafsirnya dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya dari Ibn Abbas. Ketika membaca QS.Ali Imran ayat 7, Ibn Abbas berkata bahwa wau pada wa ar-rasikhuna berfungsi sebagai isti’naf (tanda kalimat baru). Riwayat ini walaupun tidak didukung oleh salah satu raqam qira’ah, tetapi derajatnya (serendah-rendahnya) adalah khabar dengan sanat sahih yang berasal dari Turjuman Al-Qur’an (julukan bagi Ibn Abbas). Oleh sebab itu pendapatnya harus didahulukan dari dari pada pendapat yang lainnya. Pendapat ini didukung pula oleh kenyataan bahwa QS.Ali Imran ayat 7 mencela orang-orang yang memanfaatkan ayat-ayat mutasyabihat untuk menuruti hawa nafsunya dengan mengatakan “hatinya ada kecendrungan pada kesesatan” dan “menimbulkan fitnah”. Sebagai bandingannya, Allah memuji orang-orang yang meenyerahkan sepenuhnya pengetahuan tentang ayat-ayat mutasyabihat kepadaNya, sebagaimana Ia pun telah memuji  orang-orang yang mengimani kegaiban.
2.      Ibn Abu Dawud, dalam Al-Mashahif, mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-A’masy. Ia menyebutkan diantara qiraah Ibn Mas’ud disebutkan:
وان تاْ ويله الاعند الله والرا سخون في العلم يقو لون امنا به
Artinya :
“Sesungguhnya penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik Allah semata, sedangkan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabih.”
3.      Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda ketika mengomentari surat Ali Imran ayat 7, seperti berikut:
فاذارايت الذين يتبعون ما تشا به منه فاولاءك الذين سمى الله   فاحذرهم
Artnya:
“Jika engkau menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, orang itulah yang dicelaAllah maka berhati-hatilah menghadapi mereka.”
4.      Ath-Thabrani, dalam Al-Kabir, mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Malik Al-Asy’ari. Ia pernah mendengar Rasulullah SAW. bersabda, yang artinya:
“Ada tiga hal yang yang aku khawatirkan dari umatku, yaitu pertama, menumpuk-numpuk harta sehingga memunculkan sifat hasad dan menyebabkan terjadinya pembunuhan. Kedua, mencari-cari takwil ayat-ayat mutasyabih, pada hal hanya Allah-lah yang mengetahuinya….”
5.      Ibn Ali Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah bahwa yang dimaksud dengan kedalaman ilmu pada surat Ali Imran ayat 7 itu adalah mengimani ayat-ayat mutasyabih, bukan berusaha untuk mengetahuinya.
6.      Ad-Darimi, dan Musnad-nya, mengeluarkan sebuah riwayat dari Sulaiman bin Yasar yang menyatakan bahwa seorang pria yang bernama Shabigh tiba di Madinah. Kemudian ia bertanya-tanya tentang takwil ayat-ayat mutasyabih. Ia lalu diperintahkan untuk menemui ‘Umar. ‘Umar sedang memasang tangga ke pohon korma ketika orang itu menjumpainya. Lalu ‘Umar bertanya “siapa engkau?” ia menjawab saya adalah ‘Abdullah bin Shabigh.” Lantas ‘Umar memukul orang itu dengan beberapa kayu dari tangga sehingga kepalanya berdarah.

D.    Jenis-jenis ayat-ayat mutasyabihat
            Ar-Raghib Al Asfani, sebagaimana dikutip As Suyuthi, mengelompokkan ayat-ayat mutasyabihat menjadi tiga macam yaitu mutasyabihat dari segi lafazh ; mutasyabihat dari segi makna; dan mutasyabihat dari segi lafazh dan makna.[11]
            Mutasyabihat dari segi lafazh dapat dibagi menjadi mufrad dan murakkab. Mutasyabih lafazh mufrad adalah tinjauan dari kegharibannya, seperti kata yaziffun. Sedangkan mutasyabih lafazh murakkab berfaedah untuk meringkas kalam, seperti: “wa’in khiftum alla tuqsitu fankihu ma thaba lakum”, untuk meluruskan kalam, seperti “laisa kamitslihi syai’un, untuk mengatur kalam seperti “ anzala ‘ala ‘abdihil kitaba walam yaj’al lahu ‘iwajan”.
            Mutasyabihat dari segi makna mencakup sifat-sifat Allah dan berita ghaib. Sedangkan mutasyabihat dari segi lafazh dan makna, ditinjau dari segi kalimat, seperti umum dan khusus, misalnya uqtulul musyrikina, dari segi cara, seperti wujub dan nadb. Dari segi waktu, seperti nasikh dan mansukh.
            Al-Kaththabi membagi ayat-ayat mutasyabihat kedalam dua ketagori yaitu: ayat-ayat yang bisa diketahui maknanya dengan jalan menghubungkannya dengan ayat muhkamat, serta ayat yang tidak ada jalan untuk mengetahui hakikatnya. Kategori yang terakhir inilah yang dimanfaatkan oleh sekelompok orang sehingga menimbulkan keraguan dan fitnah.

E.     Hikmah keberadaan Muhkamat dan Mutasyabihat dalam Al-Qur’an
            Rahasia terbaginya ayat-ayat Al-Qur’an menjadi muhkamat dan mutasyabihat, antara lain:[12]
            Pertama, andaikata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan amal lantaran pengertian ayat yang jelas.
            Kedua, andaikata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat mutasyabihat, niscaya akan lenyaplah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia.
            Ketiga, Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, memotivasi umat Islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka terhindar dari taqlid, bersedia membaca Al-Qur’an dengan khusu’ sambil berfikir.
           
            Selain itu Rosihan Anwar menyebutkan bahwa hikmah keberadaan mutasyabih dalam Al-qur’an dan ketidak mampuan akal untuk mengetahuinya, sebagai berikut:
1.      Memperlihatkan Kelemahan Akal Manusia
Akal sedang diuji untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagai man Allah member ujian pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan yang paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengtahuan tinggi akan menjadi sombong karena ilmunya sehingga enggan untuk tunduk kepada Allah SWT.
2.      Teguran Bagi Orang-orang yang Mengotak-atik Ayat Mutasyabih
Pada akhir surat Ali Imran ayat 7, Allah menyebutkan cercaanNya terhadap orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih. Dan memberikan pujian kepada orang-orang yang mendalami ilmunya yakni orang-orang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berdo’a “rabbana la tuzigh qulubana.”
3.      Memberikan Pemahaman abstrak-ilahiah Kepada Manusia Melalui Pengalaman Indrawi yang Biasa Disaksikannya
Seperti yang diketahui bahwa pemahaman dapat diperoleh manusia ketika ia diberi gambaran indrawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja Allah memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat Allah. Bersamaan dengan itu, Allah menegaskan bahwa diriNya tidak sama dengan makhluNya dalam hal anggota tubuh.

F.      Kesimpulan
       Berdasarkan penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang dapat diketahui maknanya secara mudah, maknanya jelas, atau maknanya dapat dipahami akal. Sedangkan  ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang maknanya merupakan rahasia Allah, memiliki makna yang samar, atau tidak dapat dipahami akal.
       Sebahagian besar para ulama cendrung pada paham yang menyatakan bahwa ayat-ayat mutasyabihat makna atau maksudnya hanya diketahui Allah untuk itu kita hanya wajib mengimaninya tanpa mencari-cari takwilnya.
       Ayat-ayat mutasyabihat dapat dibagi kepada dua macam, yaitu ada ayat-ayat mutasyabihat yang dapat diketahui maknanya dan ada pula yang tidak diketahui maknanya, semata-mata hanya Allah maha mengetahui makna atau tujuan hakikinya.
       Keberadaan ayat-ayat mutasyabih dalam Al-Qur’an dapat mengantisifasi orang-orang yang berilmu dari sifat sombong karena ilmu yang dimiliknya, menafsirkan ayat hingga menikbulkan fitnah. Selain itu ayat-ayat mutasyabih dapat memberikan pelajaran kepada kita tentang abstrak-ilahiyah melalui pengalaman indrawi yang biasa dilaksanakan.
      
DAFTAR BACAAN


Al-Hasni, Muhammad Bin Alwi Al-Malik, Zubdah Al-Itqan Fi Ulum
Al-Qur’an Mutira Ilmu Ilmu Al-Qur’an, terj. Rosihon Anwar, Pustaka Setia Bandung, 1999.
Anwar, Rosihon, Ulum Al-Quran, Bandung: CV Pustak Setia, 2008.
Chirzin , Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Dana Bhakti Yasa.1998
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Perkata, Bandung: Syaamil Al-Qur’an. 2007
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: lentera Hati. 2002
www googel com.





















[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Perkata, (Bandung: Syaamil Al-Qur’an. 2007)
[2] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Dana Bhakti Yasa.1998)
[3]Opcit, Departemen Agama RI, hal.222
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: lentera Hati. 2002)
[5] Opcit , Muhammad Chirzin, hal. 70
[6] Opcit, Departemen Agama RI, hal. 461
[7] Opcit , Muhammad Chirzin, hal. 71
[8] Opcit, Departemen Agama RI, hal. 435
[9] Opcit , Muhammad Chirzin, hal. 146
[10] Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung: CV Pustak Setia, 2008.
[11] Opcit , Muhammad Chirzin, hal. 74
[12]Ibid